Sabtu, 29 Juni 2013

Emosi Positif

Prof. Martin Seligman

Prof. Martin Seligman saat menjabat Ketua Asosiasi Psikologi Amerika pernah ditanya oleh CNN.
“Could you tell us about psychology state today?”
Tapi karena CNN adalah media yang sangat sibuk, maka waktu yang diberikan untuk menjawab sangat terbatas. Prof Seligman diberi menjawab hanya dengan satu kata.
“Good!” Begitu jawab profesor.

Lalu, nampaknya ga mungkin kalo cuma jawab segitu pendeknya.
“Cut.. Cut.. Kami harus memberi Anda waktu lebih banyak..” (Crew CNN)
Oke, berapa kata yang saya boleh ucapkan? (Tanya Prof Seligman)
“Dua.” (Sahut crew CNN)

Maka Sang profesor tersenyum setelah ditanya pertanyaan yang sama..
What is the state of psychology today?
Dengan alis diangkat, beliau menjawab : “Not Good!”


Dari jawaban beliau seolah tersirat bahwa Good dan Not Good itu jaraknya dekat.

Dalam Psikologi semua itu rasanya jadi dekat dan mirip-mirip.
Bahkan Good dan Not Good.

Dunia Psikologi era sekarang membalikkan diri menjadi Psikologi Positif.
50 tahun psikologi berpusat tentang bagaimana menyembuhkan penyakit kejiwaan.
Bicara tentang ketidaknormalan dan kekurangan manusia.
Tapi lebih dari 10 tahun terakhir, Psikologi Positif lebih menyorot pada bagaimana membuat manusia bisa hidup dengan lebih utuh, membicarakan keistimewaan manusia, kesehatan mental, dll.

Mungkin ibarat kedokteran, tak lagi fokus hanya pada penyembuhan penyakit.
Tapi juga tentang bagaimana masyarakat bisa hidup secara lebih sehat.
Meningkatkan, menjaga kesehatan dengan baik sehingga bisa support semua aktivitas hingga optimal.

Salah satu kunci umum psikologi positif adalah memang emosi positif.

Psikologi positif dimulai dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya emosi positif.
Apa aja yang itu membahagiakan.
Berinteraksi dengan keluarga, jalan-jalan, berkarya, berkerja, sampai bahkan mengicipi makanan atau sebatang rokok bagi perokok.

Emosi positif, segala hal yang kita seneng karenanya.
Tapi psikologi positif ga berhenti sampai disini aja.

Seperti kelezatan es krim vanila, kadangkala sampai jilatan ke 10 kita ga begitu lagi peduli sama rasanya.
Ga seperti saat pertama kali mencicip.
Emosi positif pun demikian.

Tinggal di rumah mewah itu menyenangkan dan mendatangkan emosi positif, pada awalnya.
Namun lama kelamaan, akan menjadi menurun, biasa saja dan hilang.

Maka muncul point kedua yaitu menikmati.
Kita harus sadar betul apa yang sedang terjadi, dan mari menikmati.
Sadarilah kita sedang berinteraksi dengan orang yang kita sayangi (keluarga), maka sadarlah dan nikmatilah. Jangan sampai kita kehilangan rasa akan sesuatu yang sebelumnya membuat kita bahagia.
Maka emosi positif perlu dijaga dengan dinikmati.

Setelah dinikmati apakah selesai segalanya dan bertahan lama?
Belum cukup. Ada satu lagi, yaitu : memaknai.
Hal yang kita nikmati itu perlu dimaknai.
Dan sebaik-baik pemaknaan adalah yang memiliki dampak bagi orang banyak.
Emosi positif dikunci dengan dimaknai.

Jadi begitulah…
Psikologi positif adalah emosi positif yang dinikmati juga dimaknai.

Kayaknya udah banyak hal yang membuat kita bisa berbahagia.
Bagai sebuah siklus, dalam syukur, kita dikelilingi emosi yang sungguh positif.
Hanya saja ga banyak yang benar-benar kita nikmati atau maknai lebih jauh.

Emosi positif ga sekonyong-konyong bisa jadi psikologi positif, dear..
Butuh effort memang, keluasan dalam pikiran dan perasaan.

Atas kehidupan dan Tuhan yang sedemikian baiknya.
Maka nikmat emosi positif manakah yang berani engkau ingkari?


Kecerdasan Psikologi

Kita nggak pernah tahu kapan kita sukses dan kapan kita gagal. Yang bisa kita lakukan adalah menjalani tiap usaha dengan iklas, fokus, sungguh-sungguh dan selalu mengharap kesuksesan datang dalam usaha kita. Namun seringkali banyak orang menyerah pada kegagalan, padahal mereka nggak pernah tahu sedekat apa kesuksesan dengan usaha kita. Yap kata-kata itu yang selalu dikatakan Thomas Alfa Edison. 

Seperti cerita, seorang musrid SMA bercita-cita menjadi juara di kelasnya, namun sejak pertama ia bukanlah siapa-siapa. Ia cenderung minder sebab merasa tak memiliki kemampuan khusus seperti kawan seangkatannya. Sejak ia divonis selalu berada di peringkat akhir, sejak saat itu pula ia menyerah. Ia berusaha tanpa semangat dan selalu memikirkan kegagalan serta kekecewaannya yang dahulu.

Pada suatu ketika ia ingin mencoba, sebab ia sadar jika ia tah pernah melakukan hal terbaik dalam hidupnya, maka ia akan gagal sama sekali dalam hidupnya. “Lebih baik ambil jalan berliku dan mendaki di bukit terjal, ketimbang harus menempuh jalan yang selalu mulus…” 

Dua tahun berlalu, ia membuktikan dirinya dapat meraih kesuksesan masa SMA-nya dengan prestasi cemerlang. Bahkan setelahnya ia mencoba meraih prestasi dengan masuk ke uUniversitas erbaik di negerinya. Ialah Adam Khoo. Seseorang yang dianggap remeh oleh orang sekitarnya sebab kebodohannya dalam prestasi di sekolah, namun hingga saat ini ia mencapai karir gemilang dan prestisius. Berikut hal yang dapat kita pelajari tentang kecerdasan yang dimiliki oleh makhluk hidup berbeda yang memotivasi diri kita:

a). Kecerdasan Seorang Bayi

seorang bayi rata-rata pernah lebih dari 250 kali jatuh untuk berjalan. Tiap ia terjatuh, ia menangis sesaat bahkan tertawa, lalu ia bangkit lagi. Sebelum kuat untuk berjalan, ia merangkak, merangkak, dan merangkak menghampiri mainan, ayah, ibu atau biskuit kesukaannya. Lalu ia mencoba berdiri dengan berpegang pada tangan  ibunya atau sandaran disekitarnya, kursi atau sofa misalnya. Ia mencoba berdiri, berdiri dan berdiri, kemudian mulai menggerakkan kakinya untuk melangkah dengan langkah kecil. Saat ia berdiri, kadang ia tersenyum bahkan tertawa sendiri sebab ia bangga suatu hari nanti ia dapat berlari mengejar ayah atau ibunya, mungkin kucing kesayangannya.

 Itulah kecerdasan dasar seorang bayi. Meski matanya belum bisa membedakan warna, kakinya belum mampu menapaki jalan raya, mamun jiwanya masih suci sebab belum tersentuh setitik dosa sekalipun ataupun kesalahan. Hakikatnya SEORANG BAYI TIDAK PERNAH PUTUS ASA lantaran ia tak belum bisa berjalan lalu ia ngambek.

Kecerdasan spiritual semacam inilah yang harusnya diajarkan, dipelihara dan dicanangkan hingga dewasa dengan bantuan orang tua sebagai motivator seumur hidup bagi sang bayi kelak. Sayangnya ketika mereka mencapai bangku sekolah, mereka lupa ada hakikat kecerdasan dasar mereka dan lebih mengasah pada kecerdasan intelektual saja. Kecerdasan yang dimaksud adalah semangat jiwa yang tak kenal putus asa dan menyerah.

Lihat pula ketika sang bayi mulai belajar berbicara, ia akan berceloteh agar didengar oleh orang di sekelilingnya. Ia akan mengatakan bahasa apa saja untuk memanggil ayah atau ibunya meski tak jelas. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya, mengalahkan keterbatasan atas belum maksimalnya kerja pendengaran, belum maksimalnya memori otak, dan keterbatasan pandangannya. Lihatlah betapa hebat seorang ibu yang telaten menjadi guru pertama dan pelatih yang hebat, dengan mengulang berulang kali sepatah dua patah kata. Ibu mengajak si bayi berkeliling halaman rumah dan mengenalkan pada si bayi bunga-bunga yang indah, mobil, semut, kupu-kupu dan cicak di dinding, serta berusaha membuat si bayi tertawa sebagai respon pertama otak.

Bayi juga memiliki kecerdasan duplikasi, yakni kecerdasan meniru perkataan dan perilaku orang lain. maka, berilah contoh perilaku baik di depan si bayi. Entah melakukan ibadah, bernyanyi, membaca dan mewarnai. Namun kecerdasan duplikasi bagi seorang pelajar yang tak kenal putus asa adalah rahasia kesuksesan yang utama.

Dalam dunia pendidikan, para pendidik seakan lupa pada kecerdasan emosional, mental, dan spiritual. Dan guru hanya menjadikan nilai dan angka- angka sebagai parameter, sehingga banyak murid yang pintar (secara ntelektual), namun mudah rapuh dengan keputusasaan. Banyak pula siswa pintar, namun mengesampingkan sama sekali nilai kejujuran dan kebaikan. Maka yang sering dicetak pada generasi semacam itu adalah generasi hura- hura, generasi pembunuh, generasi narkoba, generasi free sex dan generasi putus asa dengan memilih bunuh diri sebagai alternatif melupakan masalah. Na’udzubillah.

Fenomena lain juga umum terjadi menjelang kelulusan, dimana konvoi remaja dengan seragam yang dicorat coret, dan balapan liar melanggar lalu lintas. Tak jarang juga berakhir dengan pesara narkoba, miras dan free sex. Segala akibat tersebut ialah produk dari kegagalan pendidikan dalam hal mendidik mental, emosi dan karakter mereka.

Maka, seorang bayi adalah lambang kesucian dan fitrah rabbani. Maka kembalilah seperti bayi dengan jalan taubat dan sukseslah di masa depan.

b). Kecerdasan Thomas A. Edison     

Tahukah anda berapa kali Edison gagal sebelum menemukan bola lampu? Jawabannya sangat fantastis, 10.008 kali.

Edison adalah seorang anak yang memiliki cita- cita untuk menerangi dunia dengan penemuannya. Ia tak pernah menyerah sebelum menerangi dunia. Iapun mendapat begitu banyak cobaan, salah satunya ialah ia menderita tuli pendengaran semasa kanak-kanak, selain itu pabriknya yang sudah dua kali terbakar. Apakah ia lantas menyerah? Tidak.

Betapa hebatnya semangat dan perjuangan seorang Edison. Ia belajar otodidak demi menemukan sebuah bohlam yang sangat sederhana. Tanpa jasanya, kita akan selalu menggunakan obor dan lilin. Maka jangan pernah menyerah sebelum gagal sepuluh ribu kali. Belajarlah seperti Edison.

Ia bukanlah nabi atau raja yang terhormat. Ia hanya manusia biasa dengan kecerdasan natural yang tidak mudah menyerah dan terus mencoba. Namun, formula kesuksesannya ialah try and error.

Tanpa kegigihan, niscaya tiap kegagalan berujung pada keputusasaan !!!

Kegigihan pula yang membuat nama Thomas  A. Edison dikenal oleh seluruh orang di penjuru dunia. Hingga temuannya menjadi shadaqah terbesar dalam sejarah peradaban manusia.

Maka benar pula firman Allah dalam QS Al Mujaadilah [58]: 11, bahwa Allah akan meninggikan derajad orang- orang berilmu. Lihat pula ketika nama Edison tertulis dengan tinta emas bersama fotonya, dan namanya tercetak di buku- buku pelajaran sekolah, di fakultas- fakultas. Bahkan, namanya disejajarkan bersama nama Albert Einstein sebagai tokoh yang berjasa bagi dunia

c). Kecerdasan Laba- laba

Seorang pembelajar mestinya meniru kegigihan dan kesabaran laba- laba. Ketika berada di pohon, ia memintal jarring tipis namun lengket. Ia dengan sabar menunggu mangsa mendekati perangkap dan akan makan bila mendapatkan mangsa. Perangkap milik laba- laba begitu rapuh, ringkih, mudah terkoyak diterpa hujan dan angin lebat. Namun betapa hebat laba- laba selalu memperbarui sarangnya seperti sedia kala. Itulah kegigihan.

          Setelahnya beberapa serangga yang lengah akan mendekat dan terjebak bersama lengketnya benang tipis. Inilah yang membuat laba- laba dapat bertahan hidup berkat kegigihan dan kesabaran yang diberikan Allah padanya. Laba- laba hanya memiliki satu cara dalam berburu, namun manusia memiliki ribuan cara untuk kesuksesan !!!

          Dengan potensi laba- laba yang minimal, prasarana dan sarana terbatas, ternyata laba- laba sukses menyantap serangga hingga kenyang. Hal ini pula yang patut menjadi contoh bagi para pembelajar cerdas. Bahwa keterbatasan dana dan fasilitas bukanah menjadi halangan bagi usaha kita. Ingatlah bahwa semakin minim sarana dan dana, maka seseorang dapat menjadi lebih gigih, kreatif dan inovativ dalam menyiasati tiap kekurangan dalam kehidupannya.

(Rewrited based on the real Book : La Tahzan, Fidi Mahendra)

Jika direnungkan, dulunya orang sukses yang kaya adalah sebatas orang miskin yang ternyata sukses merubah hidupnya. Ia sukses sebab ia tidak menyerah dengan segala kekurangan yang ada pada dirinya.

Misal jika anda terbatas dalam hal penglihatan, maka duduklah di bangku paling depan. Bila anda kurang dalam pelajaran, tanyalah guru atau kakak kelas yang lebih pandai dalam belajar, mungkin mengikuti bimbingan belajar. Bila masih gengsi, berusahalah mengulang dari awal dan perbarui catatan dengan metode mind maping yang rapi dan penuh warna. Jika anda tidak memiliki buku, pergilah dan daftarkan diri sebagai anggota perustakaan. Hal-hal tersebut adalah lima cara manusia untuk dapat sukses.

Yang terpenting, bagaimana usaha kita untuk mengatasi keterbatasan- keterbatasan diri. Jadi, masihkah kita pasrahkan diri kita pada kegagalan sebagai tanda keputusasaan??? Silahkan tanya pada diri anda sendiri.

Dalam buku Half Broken-Half Solid dijelaskan bahwa hidup ini pada dasarnya tak ubahnya sebagai sebuah pertandingan. Setiap peserta (kita) punya satu tujuan : Garis Finish. Kita pasti melakukan usaha jika ingin menang hingga garis ginish. namun, tak jarang kecurangan demi ambisi sebagai pemenang pertama dalam garis finish mengotori langkah dan niat kita. Seharusnya bukan urusan menang atau kalah. Dalam perlombaan hidup untuk segera sampai ke finish, kita dihadapkan pada tantangan dan rintangan. Oleh sebab itu, kerja sama, gotong royong, semangat dan sikap saling mendorong kesuksesan dibutuhkan. Kesabaran dalam menghadapi tantangan juga penting. Hidup ini terlalu sempit jika berpikir hanya untuk menang atau kalah.


Orang yang Sering Melamun Punya Kecerdasan Tinggi


@IRNewscom I Wiconsin: SEBUAH studi menunjukkan bahwa orang yang terus menerus 'terganggu' ternyata mempunyai 'memori kerja' lebih banyak. Hal tersebut membuat mereka bisa melakukan dua hal bersamaan dalam satu waktu.
Psikolog dari University of Wisconsin-Madison, Daniel Levinson mengatakan, mereka yang mempunyai kapasitas memori kerja lebih tinggi dilaporkan lebih sering melamun selama mengerjakan tugas-tugas sederhana meskipun prestasi mereka tidak meragukan, demikian lapor Apakabardunia.com.

Partisipan dalam penelitian ini harus menekan tombol sebagai respons terhadap munculnya huruf tertentu di layar atau menekan pada waktu yang tepat. Para peneliti mengecek secara rutin untuk mengetahui apakah pikiran mereka mengembara. Pada akhir penelitian, para ilmuwan mengukur kapasitas memori kerja partisipan, memberi mereka skor untuk kemampuan dalam mengingat sekumpulan huruf diselingi dengan pertanyaan matematika yang mudah.

Levinson mengatakan, dibutuhkan lebih banyak ruang kerja mental, misalnya, untuk menambahkan dua angka yang diucapkan tanpa menuliskannya. Kapasitas tersebut dihubungkan dengan pengukuran umum kecerdasan seperti membaca secara menyeluruh dan skor IQ.

Studi terbaru ini menggaris bawahi betapa pentingnya memori kerja untuk membantu otak fokus dalam masalah-masalah yang paling sulit.

Hasil dari penelitian Levinson itu dipublikasikan secara online di Psychological Science. Ini pertama kalinya sebuah penelitian menunjukkan hubungan antara pikiran yang sering mengembara alias melamun dengan kecerdasan. [AKD-12]


Howard Gardner dan Martin Seligman

MULTIPLE INTELLIGENCE DAN PSIKOLOGI POSITIF

Dalam diskusi dan trining serta workshop tentang pembelajaran Multiple Intelligence (MI) yang sering dilakukan (dan kebetulan kami juga melakukan itu; Integrasi MI dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, KTSP). Ada 2 pertanyaan yang cukup menggelitik dan sering kali dijawab dengan ‘sekenanya’ oleh para penggiat MI yang kami kenal. Pertanyaan itu adalah; Pertama, Setelah diketahui kecerdasan seorang siswa, lewat survey (OMI = Observasi Multiple Intelligence), bagaimana mengajar dengan basis data itu? Kedua, Kecerdasan guru terkadang beda dengan kecerdasan umum kelasnya. Bagaimana ini bisa effektif dan effisien? Ketiga, Apa hubungannya antara Multiple intelligence dan Positive Education


Pertama : Kita mesti tahu bahwa, pendidikan sebagai ilmu terapan, itu pasti punya pendasaran ‘teoritis’ nya pada psikologi atau ilmu neurosain lainnya, bahkan filsafat.


Seperti konsep Kontruktivisme, pendasarannya adalah Psikologi Cognitive dan Epistemologi Biologi dari penemunya Jean Piaget. Kalau kita belajar KTSP, belajar CTL (Contextual Teaching and Learning), maka konsep Kontruktivisme pasti diajarkan dengan cukup serius.


Dimikian juga dengan Multiple Intelligence (MI), ini adalah teori Kecerdasan baru yang digagas oleh neurosaintis, di project Zero, Harvard University, AS. Penemunya adalah Howard Gardner. Beliau mengatakan kecerdasan itu ada 7 (dibuku awalnya, Frame of Mind, 1983, lalu berkembang menjadi 8 dan sekarang 9). Lalu teori itu diadop dan diaplikasikan di dunia pendidikan, oleh para praktisi…yang kadang-kadang, maaf ‘kurang faham’ terhadap teori aslinya. Sehingga rancu mana yang MI dan mana yang tidak MI. sehingga sering kali mereka mengklaim banyak hal sebagai MI.


Positive Education


Positive Education adalah konsep pendidikan yang diusung Marty (panggilan akrab Martin E. Seligman). Ia adalah presiden APA (American Psychological  Association), Directur Clinical Training Program Univesitas Pennsylvania yang dijuliki Frued abad 21, dan bapak Psikologi positif, pengarang buku Learned Helplessness dan Authentic Happiness. Psikologi Positive adalah psikologi yang mengkritik semua psikologi sebelumnya. Dimana para psikolog biasanya mirip dengan dokter dan psikiatri, kerjanya mengobati orang. Psikologi positive mengatakan;


“Sejak perang dunia ke 2, psikologi sudah banyak menghasilkan upaya besar dengan penanganan masalah dst….tetapi masalahnya adalah psikologi saat ini berkutat atau condong pada memperbaiki masalah-masalah kejiwaan manusia, bukan mengoptimalkan hal-hal yang dimiliki manusia. Psikologi positif mengusulkan untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini dengan berfokus pada kekuatan dan kelemahan, serta membangun hal-hal terbaik dalam hidup manusia serta memperbaiki kelemahan atau hal-hal yang buruk. Ini menegaskan bahwa kebaikan manusia dan keunggulan adalah sama secara otentik. Keseimbangan memperbaiki dan mengoptimalkan adalah hal yang patut diupayakan. Kebahagiaan itu bukan hilangnya masalah atau penderitaan.”


“Kebahagiaan” umumnya didefinisikan sebagai keadaan kesejahteraan atau pengalaman yang menyenangkan, tetapi gagasan kebahagiaan hanya sebagian kecil dari psikologi positif. Psikologi positif adalah studi ilmiah mengenai kekuatan dan kebajikan yang memungkinkan individu dan komunitas untuk berkembang. Menurut Seligman (2002), psikologi positif memiliki tiga keprihatinan utama: 1) Emosi Positif, 2) Sifat-sifat individu positif, dan ) Institusi positif.


Memahami emosi positif memerlukan studi kepuasan dengan kebahagiaan, masa lalu dan  sekarang, dan berharap untuk masa depan. Memahami sifat-sifat individu positif terdiri dari studi tentang kekuatan dan kebajikan, seperti kapasitas untuk cinta dan pekerjaan, keberanian, kasih sayang, ketahanan, kreativitas, rasa ingin tahu, integritas, pengetahuan diri, moderasi, pengendalian diri, dan kebijaksanaan. Memahami lembaga positif memerlukan studi tentang arti dan tujuan serta kekuatan yang mendorong masyarakat lebih baik, seperti keadilan, tanggung jawab, kesopanan, pengasuhan, pemeliharaan, etos kerja, kepemimpinan, kerja tim, tujuan, dan toleransi.


Kita mesti tidak menyamakan Psikologi Positive dengan Berfikir Positive yang sudah umum (kami tidak menjelaskan disini). Psikologi positif tidak mesti menganjurkan berfikir positif. kadang berfikir negative memberikan keakuratan lebih baik.


Beberapa temuan Psikologi Positive yang menyalahkan atau tidak membenarkan pendapat umum (Common-sense).

Untuk menyebutkan beberapa:

1) Kekayaan hanya terkait sangat sedikit dengan kebahagiaan di dalam lintas negara, khususnya ketika pendapatan di atas tingkat kemiskinan (Diener & Diener, 1996). 2) Kegiatan yang membuat orang bahagia dalam dosis kecil – seperti belanja, makanan yang baik dan menghasilkan uang – tidak mengarah pada pemenuhan kebahagiaan dalam jangka panjang (Myers, 2000; Ryan & deci, 2000). 3) Terlibat dalam sebuah pengalaman yang sangat ‘intent-oke’ (“flow”) begitu menggembirakan. Berkegiatan semacam ini adalah kebahagiaan tersendiri. Flow dialami ketika ketrampilan seseorang yang cukup untuk kegiatan yang menantang, dalam mengejar tujuan yang jelas, dengan umpan balik langsung tentang kemajuan ke arah yang dituju (keberhasilan). Dalam kegiatan seperti ini, konsentrasi sepenuhnya terlibat pada saat itu, kesadaran diri menghilang, dan waktu tidak ada (Csikszentmihalyi, 1990). Inilah yang dikatakan para jenius penemu-penemu besar. Saat kami melakukan hal-hal serius, besar, butuh kosentrasi sangat banyak dan sangat lama, kami disana hanya tak ubahnya “ Bermain-main”. 4) Orang yang mengucapkan terima kasih secara teratur memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, optimisme, kemajuan ke arah tujuan, kesejahteraan, dan membantu orang lain lebih (Emmons & Crumpler, 2000).


5) Mencoba untuk memaksimalkan kebahagiaan dapat menyebabkan ketidakbahagiaan (Schwartz et al., 2002). 6) Orang yang melihat orang lain berbuat baik , akan memotivasi yang lain untuk berbuat serupa. (Haidt, 2000). 7) Optimisme dapat melindungi orang dari penyakit mental dan fisik (Taylor et al., 2000). 8) Orang yang optimis atau bahagia memiliki kinerja lebih baik dalam pekerjaan, sekolah dan olahraga, kurang depresi, memiliki lebih sedikit masalah kesehatan fisik, dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Selanjutnya, optimisme dapat diukur dan dapat dipelajari (Seligman, 1991; Lyubomirsky, Raja & Diener, 2005). 9) Dokter mengalami emosi positif cenderung membuat diagnosa yang lebih akurat (isen, 1993). 10) Pembangunan manusia yang sehat dapat terjadi dalam kondisi kesulitan bahkan besar karena proses ketahanan yang umum dan benar-benar biasa (Masten, 2001). 11) Orang tidak dapat memprediksi berapa lama mereka akan senang atau sedih setelah suatu peristiwa penting (Gilbert, Pinel, Wilson, Blumberg & Wheatley, 1998; Wilson, Meyers, & Gilbert, 2001). Para peneliti menemukan bahwa orang biasanya menaksir terlalu tinggi berapa lama mereka akan sedih setelah peristiwa buruk, seperti putus cinta romantis, namun gagal untuk belajar dari pengalaman yang berulang bahwa prediksi mereka salah. Dst


Konsep teoritis Psikologi Positive, dicobakan dalam dunia praktis pendidikan oleh mereka sendiri, dengan konsep Positive Education, Intinya adalah mengajarkan anak didik, siswa disekolah Sukses (Achievable) dan Bahagia (Well-Being).


Secara umu sekolah ini mengajarkan bagaimana belajar optimist, belajar berbagi, belajar melepaskan dendam, belajar menyelesaikan konflik, belajar untuk syukur, belajar untuk mengendalikan stress/emosi…dst…dst. Disamping kurikulum-kurikulum standart. Dan belajar-belajar ‘positive’ tadi masuk dalam Kurikum. 1) Ditangani oleh guru CB ( Carracter building, SD atau Carrier Development, di SMP/SMA). Ada jam CB/CD/minggu. 2) Guru-gurunya diajarkan Psikologi Positive. (Pelatihan-pelatihan berfikir positive/negtive, optimist/pesimist, quantum ikhlas, dst). 3) Dalam perkembangannya mencampurkan konsep-konsep itu dalam buku-buku paket dan kurikulum standart.


Jawaban Pertanyaan


Untuk menjawab pertanyaan itu, hampir semua penggiat MI mengatakan, pertama, kita ajarkan mereka dengan kecerdasan dominannya (dari 8 kecerdasan yang ada….mungkin siswa X urutan kecerdasannya adalah; Linguistik (L), logis-matematis (LM), visual-spatial (V), Naturalis (N), music (M), intrapersonal (Intra), interpersonal (inter) dan Kinestetik (K) ). Maka kita ambil 4 atau 5 kecerdasan tertingginya (sebagai pendekatan awal), yaitu, L, LM, V, N dan M, dan nantinya kita ‘Pantik’ kecerdasan lainnya (Intra, inter dan K). Tetapi benarkah demikian, bagaimana caranyA, adakah penjelasan teorinya yang cukup memuaskan?


Lalu pertanyaan kedua, ada perbedaan kecendrungan kecerdasan siswa dan kecendrungan kecerdasan guru. Karena perbedaan ini, maka ada kesulitan dan ketidaknyamanan tertentu seorang guru mengajar keluar dari kecendrungan kecerdasannya. Contoh sederhana, guru yang kecerdasan Kinestetik dan Musiknya masuk urutan ke 7 dan 8, akan sangat kesulitan untuk mengajar dengan dominasi 2 kecerdasan tadi. Tapi penggiat MI, akan menjawab gaya belajar akan berbeda dengan gaya mengajar. Sehingga kesulitan itu mestinya tidak perlu terlalu dirisaukan. Sekali lagi jawaban itu adalah jawaban sekenanya dan tidak punya pendasaran teoritis yang cukup. Lalu bagaimana semestinya?


Dari awal saya mendengar jawaban ini, saya agak pesimis dengan kedua jawaban tadi. Sebab common-sense mengatakan; siswa punya kecendrungan kecerdasan tertentu (4/5), mereka diajar dengan pendekatan 4/5 kecerdasan itu, sebab itulah ‘kecendrungan asli’ dia. Bagaimana bisa selainnya menjadi terpantik? Justru logikanya, Karena yang dia suka, diasah diberi asupan dengan pendekatan-pendekatan searah dengan kecerdasannya, maka sesuai dengan hukum neurosain dan psikologi, maka kecerdasan itu makin hipertropi, yang lain jadi atropi (minimal makin tertinggal jauh dengan lainnya). Jadi konsepsi pemantikan itu sulit diterima.


Marty (panggilan akrab Martin E. Seligman) mengatakan;  Setelah beliau menerangkan activitas tonic (aktivitas elektrik-dasar saat otot tidak digunakan) dan aktivitas phasic (semburan aktivitas elektris ketika otot menghadapi tantangan dan berkontraksi). Kebaikan hati, rasa ingin tahu, kesetiaan dan spiritual cenderung tonic. Ketekunan, sudut pandang, keadilan dan keberanian cenderung phasic. Selanjutnya dia mengatakan; Saya tidak yakin anda harus berusaha amat keras untuk memperbaiki kelemahan anda. Saya lebih percaya bahwa keberhasilan tertinggi dalam hidup dan kepuasan emosional terdalam berasal dari membangun dan menggunakan kekuatan-khas anda.…Hidup yang baik adalah menggunakan kekuatan-khas anda setiap hari untuk menghasilkan kebahagian autentik dan grafitifikasi berlimpah.” Ini terjadi karena berasal dari sesuatu yang sangat dikuasai . (Authentic Happiness, 2005: hal 17).


Dari penjelasan diatas dan juga sesuai dengan penjelasan Howard Gardner sendiri tentang spektrum orang sukses mulai dari Zinade (Kinestetik), Einstein (Logis-Matematis), Mozart (Music), Intrapersonal (Frued), Interpersonal (Politisi dan Presiden), Naturalis (Darwin), Visual (Afandi, pelukis dan Arsitek). Kita bisa melihat bahwa ‘konsep pemantikan’ itu tidak signifikant. Justru pengasahan kecendrungan (4/5) kecerdasan tertentu itulah yang mencukupi untuk ‘sukses dan bahagia’. Tidak perlu kita mengasah atau mengusahakan ke 8 kecerdasan itu. Cukup 4/5 kecerdasan tertentu saja. Jangan melatih kucing pandai berenang, atau bebek juara lari.


Untuk menjawab pertanyaan yang kedua, maka survey kecendrungan kecerdasan (OMI) perlu dilakuan. Tidak hanya siswa tapi juga guru. Bila kecendrungan kecerdasan guru (4/5) diatas dari 8, mirip atau sama dengan siswa. maka effisien dan effektivitas pembelajaran dikelas akan bisa lebih optimal. Walau ini memang agak ideal.